ASAL-USUL KEJADIAN DESA TUO ILIR
KEC. TEBO ILIR , KAB. TEBO, PROVINISI JAMBI
A. Alim
Mukmin dan Palimo Amin
Pada suatu hari Palimo Amin
melayarkan perahu di Sungai Kembang Bungo dan seketika itu dia
melihat ada pemukiman Alim Mukmin. Maka pada akhirnya dia pun singgah dan
menemui seorang yang bernama Alim Mukmin tersebut
“Oh, Tuk! Boleh tidak sayo
numpang munginap malam ini di sini?”. Kata Palimo Amin
“Lah! apo salahnya. Kamu ini berasal dari mano?”.
Jawabnya
“Sayo ini berasal dari Minang Kabau”. Jawab
Palimo Amin kembali
“Woi! Ambo orang Minang Kabau jugo. Kamu mencari makan
di siko sajo”. Tawar Alim Mukmin
Palimo
Amin menerima tawaran Alim Mukmin untuk tinggal bersama-sama dengannya. Namun
beberapa hari setelah itu Alim Mukmin menyampaikan keinginannya kepada Palimo
Amin.
“Besok
ambo mau mencari tanah untuk berkebun. Kau mau mencari tanah di mano?”. Kata
Alim Mukmin
“Aku
mau mencari teluk yang tinggi(Sekarang dikenal dengan Napal Belang)”.
Palimo Amin
“Kalau
aku teluk yang rendah sajo”. Jawab Alim Mukmin
Begitu banyak nama yang
pernah melekat pada desa yang kini lebih dikenal dengan nama Desa Tuo Ilir.
Nama-nama yang diambil bukan tanpa beralasan, akan tetapi atas dasar peralihan
kebiasaan sehari-hari sampai dengan kondisi geografis yang telah berubah dan
berkembang pada saat itu. Berikut adalah nama-nama yang pernah ada sebelum
akhirnya ditetapkan nama Desa Tuo Ilir:
1. Alim
Mukmin dan Palimo Amin dengan tanaman sayurannya
Mulai
pada hari itu juga mereka berpisah dan menuju lokasi yang dimaksud. Alim Mukmin
mulai menyambung hidup dengan berkebun sayur-sayuran, seperti bayam, singkong,
katu, dll di teluk yang rendah tersebut(Sekarang tempat itu tepat di masjid
Teluk Rendah Seberang Bagian Hulu dan di atas rumah guru Zahari).
Dari sana Alim Mukmin
berinisiatif untuk menamai tempat yang dia diami saat itu dengan sebutan
Taratak. Sedangkan Palimo Amin yang memilih tinggal di teluk yang tinggi(Napal
Belang) juga melakukan hal yang sama. Dia berkebun sayur-sayuran dan juga
menyebut tempat tinggalnya dengan nama Taratak.
2. Alim
Mukmin dan Palimo Amin dengan kebun kelapa, durian, dan dukunya
Seiring
berjalannya waktu, mereka kembali sama-sama memamfaati lahan yang mereka
tempati dengan berkebun. Namun kali ini mereka menanam kelapa, duku, dan durian
di tanahnya masing-masing. Tumbuhan-tumbuhan itu pun kini tumbuh tinggi
menjulang, daun-daunya juga mampu memberi kesejukan dari terpaan sinar mentari,
buah-buahnya melengkapi rasa manis kehidupan yang mereka rasakan serta
akar-akarnya yang mampu mengikat tanah untuk tidak memisahkan diri dari
tempatnya.
Berawal dari tanaman yang
bersifat bulanan hingga berpindah ke tanaman menahun, dari sana pula
Alim Mukmin dan Palimo Amin kembali mengganti nama Taratak dengan sebutan
Padokoh.
3. Alim
Mukmin dan Palimo Amin dengan musholla dan pegawai adatnya
Kedua tempat tinggal yang
didiami Alim Mukmin dan Palimo Amin semakin hari semakin ramai dan
berkembang. Hingga berdirilah di sana sebuah musholla sebagai tempat
untuk bersatu, yaitu menyatu dengan Allah melalui kekhusu’an shalat dan juga
antarsesama masyarakat dalam sentuhan silaturrahmi.
Terbentuk pula pegawai adat
yang mampu mengurus tempat tinggal mereka. Semua bentuk perselisihan dan
kesalahpahaman mereka putuskan dengan keadilan, lalu mereka juga mampu mengurus
keretakan dalam rumah tangga dengan olesan percintaan. Perubahan nama desa
kembali dilakukan Alim Mukmin dan juga Palimo Amin. Alim Mukmin dengan nama
Teluk Rendah, sedangkan Palimo Amin mengantinya dengan Koto Damingger.
Sei. Bengkal yang sekarang
menjadi kecamatan kedua desa ini dulu bernama Renah Tanjung Dibungo.
Dahulu katanya pernah ada Datuk Manurai Besi dan isterinya Mekcinai Lewat yang
tinggal di dalamnya. Konon katanya Mekcinai berasal dari pintu langit
yaitu, babenak diampo kaki, bajiwo diujung kuku. Dia adalah anak
dari Datuk Sai Panjang Janggut. Dan sebelum Teluk Rendah sekarang, dulu juga
ada namanya Gunung Bungsu.
4. Palimo
Mukmin dan Anak-anaknya
Baik Alim Mukmin
ataupun Palimo Amin kini telah sama-sama memiliki anak-anak yang
besar dan mulai berkeluarga. Palimo Amin memiliki 6 orang anak laki-laki dan
hanya satu anak perempuan. Dari mulai anak yang paling sulung hingga
paling bungsu ia beri nama; Kemuneng, Tais, M. Syukur, Tanglung, Rd.
Ketek Pendekar Halus alias Darah Putih, dan anak keenam yang makamnya berada di
Muaro Bernai masih coba diingat-ingat namanya. Sedangkan anaknya yang
terakhir bernama Nenek Rabiyah.
Disebutkan bahwa salah satu
dari anak Palimo Amin yang bernama Tais memilih tinggal ke seberang (Sekarang
dikenal dengan Batu Ampar), tempat tinggal yang didiami Tais juga
berkembang sangat cepat, bahkan terdapat masjid dan pegawai adat seperti yang
ditempati ayanya dan saudara-saudaranya di Napal Belang.
Melihat perkembangan dari
Napal Belang dan Batu Ampar yang semakin pesat, Palimo Amin, Tais, dan
saudara-saudaranya yang lain melakukan rapat untuk mengganti nama tempat
tinggal mereka. Diputuskan dalam rapat tersebut Koto
Damingger diganti pula dengan nama Dusun Duo. Sedangkan Alim Mukmin
tetap menggunakan nama Teluk Rendah.
5. Kepalo
Barau
Beberapa tahun kemudian
Tais yang tinggal di Batu Ampar mengadakan resepsi pernikahan anaknya. Dia
bahkan mengundang orang-orang hingga ke Aek Hitam untuk memasak dalam acara
pernikahan tersebut. Celakanya, walau telah mengundang tukang masak(cheef) dari
Aek Hitam masakan mereka tetap terasa tidak lemak.
Tais sebagai salah satu
orang bertanggung jawab dengan keadaan itu meminta untuk dijemput Kepalo Barau
ke seberang(Napal Belang). Kepalo Barau sendiri diyakini bisa untuk melemakkan
masakan. Setelah Kepalo Barau tersebut dimasukan dalam masakan, ternyata
masakan yang mereka buat berubah menjadi lemak. Namun mereka lalai
untuk menjaga Kepalo Barau, karena saat mereka memasukkan Kepalo Barau yang
kedua belas kalinya mereka tak lagi mengeluarkannya dari masakan yang sedang
mendidih tersebut, akhirnya Kepalo Barau itu hancur.
6. Raden
Ketek Pendekar Halus dan Beruk Berayun
Kepalo Barau yang tadinya
hancur saat pernikahan anak Tais memang belum menjadi permasalahan di antara
warga-warga Napal Belang dan Batu Ampar. Akan tetapi permasalahan justru lebih
dulu datang dari orang-orang Pematang Limau dan Pematang
Taboh. Pematang Limau dan Pematang Taboh yang kini lebih dikenal dengan
Kejasong ini, dulu katanya sangat ramai sekali orang yang melewatinya. Bahkan
saking ramainya saat ada yang membentangkan kulit kerbau di jalannya saja, tak
lama berselang kulit itu menjadi tipis karena pijakan kaki.
Sewaktu itu orang-orang
Pematang Limau dan Pematang Taboh dikacaukan oleh ulah seekor Beruk Barayun
saat berjalan menuju ke Aek Hitam dan menurut penuturan mereka telah ada 99
orang yang menjadi korban keganasan Beruk Berayun ini.
Mereka menemui Palimo Amin
dan dubalang-dubalang yang ada di Dusun Duo atau lebih tepatnya di Napal Belang
untuk membunuh Beruk Berayun yang begitu banyak mengakhiri hidup
warga-warganya. Palimo Amin yang saat itu diharapkan untuk menyelesaikan
masalah tak tahunya lagi sedang mengalami sakit.
Di saat keputusasaan dan
kepasrahan mulai hinggap dalam harapan warga-warga yang datang ke rumah Palimo
Amin. Radek Ketek Pendekar Halus, yaitu anak Palimo Amin yang kelima yang baru
berusia 3,5 tahun menawarkan diri mengganti ayahnya untuk membunuh Beruk
Berayun yang terkenal begitu ganas tersebut.
Palimo Amin yang sedang
terbaring sakit tidak mampu menolak niat baik yang diminta anaknya.
Dia cuma menawarkan keris, tombak, dan pedang untuk menjadi kekuatan. Akan
tetapi selain berbekal doa restu Raden Ketek Pendekar Halus hanya meminta pada
ayahnya pedang, dulang, dan 7 buah pisang. Selain itu ia juga meminta pada
ibunya untuk ditanami selaseh di halaman rumah. Tujuannya adalah; “kalau
tanaman selaseh itu layu berarti ia sakit, kalau tanaman selasehnya sehat
berarti ia juga sehat dan bila tanaman selasehnya mati berarti saat itu ia juga
mati”.
Keesokan harinya Raden
Ketek berangkat menuju Pematang Limau dan Pematang Taboh. Di sana
ia berjumpa begitu banyak orang yang bertanya perihal kedatangannya
dan tak jarang pula mereka meragukan kemampuaan yang dimilikinya.
“Apa kau kulup yang mau
membunuh Beruk Berayun yang ado di siko?” Tanya seorang warga.
“Aih tidak, Tuk!... Sayo
cuma mau melihat-lihat sajo. Dak mau membunuh dak”.Jawab
Raden Ketek seraya menundukkan kepala.
“Di kaki kau itu banyak
nian pacat, Lup!” Tanya ia kembali
Menanggapi pertanyaan di
atas Raden Ketek mengambil pedangnya, lalu membunuh pacat-pacat yang melekat di
betisnya. Alangkah kagetnya orang tesrsebut, ketika melihat darah yang menetes
dari betis Raden Ketek Pendekar Halus berwarna putih. Semenjak kejadian itu
pula orang Pematang Limau dan Pematang Taboh mengenalnya dengan sebutan Si
Darah Putih.
Raden Ketek Pendekar
Halus terus meneruskan langkahnya . Saat di tengah perjalanan ia kembali
bertemu seorang warga dan menanyakan hal yang sama.
“Apo kau kulup
yang mau membunuh Beruk Berayun?. Jangan kulup cobo kau tengok datuk membelah
bambu mayang enam ruas ko hanya dengan tangan, alangkah itu tidak berani
melawan Beruk Berayun. Lah! apo lagi kau budak kecik, nanti kau cumo jadi
kotoran dio sajo”. Sambung ia pula
“ Idak lah, Tuk! Sayo cumo
mau nengok-nengok sajo”. Jawabnya sembari
tersenyum dan diikuti dengan merunduk.
Raden Ketek Pendekar Halus
sedikit pun tak pernah gentar untuk bertemu Beruk Berayun. Ia berencana untuk
terlebih dahulu mampir di rumah Kepala Desa Pematang Limau. Namun sebelum sampai
di sana seorang warga kembali menegurnya.
“Apo kau kulup yang
membunuh Beruk Berayun?. Jangan kulup datuk ko Palimo di Pematang Limau, cobo
pulo kau tengok datuk mengupas kelapo ini hanyo dengan tangan kosong sajo.
Alangkah itu dak berani membunuhnyo”.
“Idak lah, Tuk! Sayo cumo
mau nengok sajo. Dak mau membunuh dak”. Jawab Raden Ketek
Pendekar Halus dengan kata sama dan juga sikap yang sama.
Sebelum sinar mentari
seutunya tenggelam dalam gumpalan awan-awan putih dan kelam datang menyapa
Raden Ketek telah sampai di teras rumah Kepala Desa. Warga-warga pun
berdatangan melihat anak mungil yang katanya bakalan menghentikan keperkasaan
Beruk Berayun di desa mereka.
“Kau ko berapo umurnyo,
Lup?”.Tanya salah satu warga yang hadir
“Umur sayo 3,5 tahun.
Sayo cumo mau nengok-nengok Beruk Berayun sajo. Dak mau
membunuhnyo dak”. Jawabnya merendah diri
Pagi
harinya, saat di mana terang tampak sudah tak lagi
menyisakan ruang tuk kelam. Tepat sehabis sarapan pagi Raden Ketek Pendekar
Halus berangkat menuju lokasi keberadaan Beruk Rayun dengan ditemani beberapa
warga. Setelah sekian lama berjalan, kira-kira jarum jam bergeser ke titik 12
ia sampai di tujuan. Sedangkan beberapa warga yang tadinya ikut hanya mengantar
sampai perbatasan hutan.
Kedatangannya seolah sudah
ditunggu-tunggu. Sang Beruk Berayun langung berpijak di akar-akar yang merambat
pada pepohonan. Raden Ketek Pendekar Halus yang mengetahui kehadiran Beruk
Berayun, segera menyiapkan dulang dan memposisikan di atas kepalanya. Beruk
Berayun yang ingin sesegera mungkin membunuh langsung menancapkan tombak di
ubun-ubun kepalanya. Akan tetapi tombak tersebut hanya menghantam dulang,
sedangkan kepala Raden Ketek Pendekar Halus tak tergores luka sedikit pun.
Dia lalu mencabut tombak
dari dulang, menurut Piagam; sampai setengah lutut kaki Raden Ketek
Pendekar Halus masuk ke tanah untuk mencabut tombak tersebut. Setelah tombak
berhasil ia lepas, ia lalu mengambil pisang dalam uncang(tas kecil) dan
ditusukkan ke ujung tombak. Pisang yang kini lengket di tombak disodorkan ke
Beruk Berayun, tanpa tersadar si Raden Ketek Pendekar Halus hendak
mencelekainya, ia lalu mengambil pisang tersebut. Namun begitu pisang diambil
Sang Beruk Berayun pada uluran yang kedua, Si Raden Ketek lalu dengan tangkas
menusukkan tombak tepat di dadanya. Beruk Berayun jatuh dan akhirnya
mati.
Beruk Berayun terkapar di
tanah dengan dada tertancap tombak. Darah Putih alias Raden Ketek Pendekar
Halus lalu mengambil senjata terakhirnya yaitu pedang untuk mengambil telinga dan
ekor si Beruk Berayun dan dimasukkan ke dalam uncang, sedangkan kepalanya
digantung pada pohon sebekal. Menurut cerita kebanyakan orang, pohon itu
melengkung menahan beban dari kepala Beruk Berayun. Dan menurut Piagamsendiri;
tak kurang dari 45 kg berat dari kepala Beruk Berayun tersebut.
Siang itu pohon-pohon
tampak seolah berdiri gagah, mentari bersinar dengan bangga, kicauan burung
bernyanyi ria serta diikuti hembusan angin nan manja. Anak mungil 3,5 tahun ini
lalu balik menuju ke Pematang Limau. Sesampai di sana ia disambut dengan
berbagai pertanyaan.
“Apo kabar, Lup? Mati dak
Beruk Berayunnyo?”. Tanya mereka serentak
“Yo dak lah! Sayo cumo
nengok-nengok sajo ke sano ”
“Dak tu memang ngota nian
dubalang-dubalang tadi, katonyo kau bakalan membunuh Beruk Berayun itu”. Jawab
salah seorang kakek seraya tersenyum sinis
“Tapi sayo ado iko Tuk bawa
telingo dan ekor Beruk Berayun. Nah! Iko dio barangnyo”. Jawab
Raden Ketek Pendekar Halus sambil memperlihatkan barang yang kini ada di
tangannya.
Sontak saja si kakek tua
diam membisu dan tertunduk malu, tak terkecuali setiap orang yang hadir di
tempat itu tampak seolah tak percaya menyaksikan kehebatan si Raden Ketek
Pendekar Halus. Kepala Desa yang juga duduk di antara warga-warga lalu meminta
kepadanya untuk tinggal sementara selama seminggu di Pematang Limau, setelah
itu baru diizini pulang ke Dusun Duo.
Sebaliknya Palimo Amin yang berada di Dusun Duo terus menyimpan berjuta keresahan terhadap keselamatan Raden Ketek Pendekar Halus. Di tengah lamunan dia teringat pesan anaknya, andai ingin mengetahui kondisi anaknya apa dalam keadaan sehat, sakit, ataupun mati, maka ia bisa melihat kondisi selaseh yang ditanam di depan halaman rumah. Dan alangkah bahagianya Palimo Amin ketika mengetahui tanaman selaseh dalam keadaan sehat.
Nenek Rabiyah Menjadi Dewa
Tak lama berselang setelah
kejadian pembunuhan Beruk Berayun oleh Raden Ketek Pendekar Halus. Kini masalah
justru datang di tengah keluarga Palimo Amin sendiri. Nenek Rabiyah yang
merupakan anak bungsu sekaligus putri satu-satunya kerap kali menunjukkan
perilaku yang aneh. Hingga sampai pada suatu ketika perilaku itu menarik
perhatian Kemuneng sebagai kakak tertua untuk bertanya.
“Kau ini kenapo Rabiyah
masak nasi dak mau? Dari tadi kuperhatikan kau jugo main bungo sajo terus. Apo
kau memang mau menjadi dewo yo?”. Tanya Kemuneng dengan
sedikit agak serius
“Kalau kini iko, Bang! Sayo
memang dak nian menjadi dewo” Jawab Nenek Rabiyah
seolah telah menunggu sekian lama pertanyaan ini
“Yo lah! Kalau memang macam
itu mau kau. Nah! besok senin iko boleh abang antar kau ke Payoh
Membek(Sekarang dikenal dengan Lebak Takar)”. Kemuneng mencoba untuk
memberi jalan kepada Nenek Rabiyah
“Kalau macam itu kato
abang, yo basenglah!” Ia menimpali seraya membayangkan diri telah
menjadi dewa
“Kalau kau mau menjadi dewa
nian, Dik! Hari senin depan abang akan buang tombak iko ke Lubuk Napal Belang.
Bilo kau biso ngambil tombaknyo, kau baru biso kami izini menjadi dewa”. Sambung
Raden Ketek Pendekar Halus memecah ketegangan antara keduanya
Hari senin kini telah tiba.
Sesuai kesepakatan Raden Ketek Pendekar Halus berdiri dipinggir
tebing ditemani abang-abangnya yang lain untuk membuang tombak ke Lubuk Napal
Belang, sedangkan Nenek Rabiyah juga tampak bersiap-siap untuk segera melompat
begitu tombak itu meluncur menembus air. Dengan dandanan rapi dan pakaian yang
indah Nenek Rabiyah melompat dari tebing. Dia menyelam mengikuti tombak di
Lubuk Napal Belang dan timbul di Batu Ampar, lalu ia menyelam berbalik
arah dengan tombak yang telah dipenuhi udang.
Dia kembali ke rumah
menemui abang-abangnya. Dan dengan bangga menunjukkan tombak yang kini ada di
genggamannya.
“Ini bang tombak yang abang
lempar lah penuh dengan udang”. Ia memerlihatkan ke
hadapan abang-abangnya
“Kini iko dik masak lah
dulu udang itu. Kami mau makan perbuatan kau untuk yang terakhir kalinyo”.
Kemuneng mencoba tuk menguasai diri tuk menahan kesedihan
Sontak saja mendengar
ucapan Kemuneng seperti itu ia bergegas melakukannya. Setelah memasak ia menuju
ke Tebing Napal Belang dan menyuarakan beberapa buah pantun untuk
melukiskan kegembiraan sekaligus kesedihannya.
Manyalak
sarang elang
Tajuluk ular sawo
Tinggallah teluk Napal
Belang
Rabiyah ndak menjadi dewo
Menebang batang seredang
Rebah ke tepi payoh
Tinggallah olak nak gedang
Rabiyah iko ndak menjadi
dewo
Pucuk kankung di tengah
laman
Anak ikan di dalam paringgi
Tinggallah kampung
tinggallah halaman
Tinggal tepian tempat mandi
Pantun-pantun itu kini
telah bertebaran menyusuri peraduan kenangannya masing-masing. Rabiyah lalu
naik ke rumah dan makan. Kemudian Kemuneng sebagai kakak tertua yang
menggantikan ayahnya Palimo Amin berucap.
“Jadi kini, Dik! Kalau kau
mau menjadi dewa nian, bersiap-siaplah boleh abang antar ke darat”. Seakan
ada sesak yang teramat berat baginya tuk merelakan adik perempuan satu-satunya.
“Aku mau menjadi dewa,
abang-abang tinggallah di rumah yo”. Ia berkata seolah sudah
tak ada kesedihan lagi, seperti apa yang dirasakan abang-abangnya karena harus
berpisah darinya tuk selamanya.
Pada hari itu
semua ikut mengantarnya, kecuali Tais. Ketika berada di
balik rumah, Rabiyah berpantun sambil memegang bunga-bunga nan cantik
pujaannya.
Kini iko basenglah menanam
mumbang
Kalau tumbuh tuah negeri
tingggallah kau kembang
Rabiyah dak akan datang
lagi
Tak sampai di situ. Nenek
Rabiyah juga mendekati bunga-bunga lain yang tumbuh agak jauh di
belakang rumahnya. Ia lagi-lagi berpantun.
Ambil daun buganti daun
Daun dilipat di atas dampar
Habis tahun buganti tahun
Dusun iko panjangnyo
melampaui Batu Ampar
Berselang beberapa jam
setelah itu mereka sampai di Payoh Membek. Dan kemuneng menyampaikan sebuah
kata terakhir mewakili keharuan saudara-saudaranya yang lain. “Kalau
kau mau menjadi dewa nian Rabiyah, yo jadi dewalah. Kami semuo iko dak balik ke
rumah lah”. Dan hanya lewat anggukan kepala dari Nenek
Rabiyah, mereka hari itu berpisah.
Pada malam harinya kelima
abangnya berada dalam kegelisahan, kedua kelopak bola mata mereka sama-sama
sulit tuk terpejam, mereka terbayang si adik tersayang. Kemuneng lalu
mendiskusikan masalah ini pada adik-adiknya yang lain.
“Abang dak biso tidur
semalam mengenang adik kito Rabiyah” Kemuneng mengawali
pembicaraannya
“Kalau macam itu, Bang!
Besok sehabis sarapan pagi kito turut dio pulo ke darat”. Jawab
Raden Ketek Pendekar Halus.
Keesokan paginya mereka
berusaha bersama-sama menemukan adiknya. Dan alangkah kagetnya mereka, karena
di tempat itu mereka tak lagi menjumpai siapapun. Secercah harapan seakan
hadir, ketika tiba-tiba terdengar oleh mereka suara Nenek Rabiyah memanggil.
Seakan tak mau kehilangan kesempatan kedua kalinya, maka Raden Ketek Pendekar
Halus segera mencari sumber suara tersebut.
“Di siko kau yo, Dik!
Turunlah dik dari atas itu, ikutlah dengan kami lagi. Kami iko sayang nian samo
kau”. Raden Ketek Pendekar Halus tampak seolah
mengulurkan tangannya.
Dia turun ke bawah dan
berkata,“Idak bang, Rabiyah dak bakal balik lagi”
Raden Ketek Pendekar Halus
mencabut pedangnya, lalu membelah akar-akar tuk dijadikan buaian. Ia juga
meminta kepada saudara-saudaranya yang lain untuk membelah pada bagian
ujungnya.
“Kalau macam itu kemauan
kau. Kini iko kau masuklah ke dalam buaian yang abang buat iko
nanti” Kata Si Raden Ketek Pendekar Halus.
“Yo Bang! Sayo jugo
punyo perjanjian yang harus dipatuhi masyarakat-masyarakat yang kelak tinggal
bersamo abang. Kalau di dusun kito diserang wabah penyakit, mako
cucu dan cicit kito diberi tando gelang tiga warno dan harus memakai
cincin yang terbuat dari ijuk.
“Oh yo! Bukan itu sajo,
kalau ado harimau dak boleh dibunuh, buayo dak boleh dibunuh, kalau diam di
ladang, dak boleh menggunakan pintu tikar, selain itu dak boleh membelah
tunggul untuk dijadikan kayu api. Itu lah perjanjian kito, jangan sampai ado
yang menyalahinyo”. Sambung Nenek Rabiyah pula
Nenek Rabiyah masuk ke
dalam akar dan kira-kira dihitungan ketiga Nenek Rabiyah sudah menghilang dari
hadapan saudaranya-saudaranya. Dan mulai saat itu mereka berpisah tuk
selama-lamanya. Sedangkan kelima abangnya balik ke rumah.
Menurut Temboh, Tembih, dan
Piagam; Nenek Rabiyah memjadi raja di Bukit Saguntang, gunung Kuaran, dan
Durian Dipatuk Rajo. Dikenal pula oleh masyarakat Pariaman(Sumatera Barat),
kalau Nenek Rabiyah punya suami bernama Orang Koto Tujuh.
8. Perperangan
Kepalo Barau
Beberapa tahun setelah
Nenek Robiyah menjadi dewa, M. Syukur mengadakan pesta pernikahan cucunya dan
konon katanya ia telah menyebar undangan hingga ke Aek Hitam. Akan tetapi saat
memasak kejadian yang pernah terjadi pada Tais juga terulang pada M.
Syukur, makanan terasa tidak lemak.
Teringat apa yang pernah
dilakukan Tais sebelumnya, M. Syukur segera memerintah beberapa orang untuk
menjemput Kepalo Barau ke rumah Tais, lalu ketika sampai mereka hanya
mendapatkan berita kalau Kepalo Barau telah hancur. Cukup enteng alasan yang
diberikan Tais, karena orang yang merendam Kepalo Barau terakhir kalinya
terlalu lama, makanya bisa hancur.
Meski makanan terasa tak
lemak, karena tak ada Kepalo Barau. M. Syukur tetap meneruskan pernikahan
cucunya hingga selesai. Tak lama setelah pernikahan berlangsung M. Syukur lalu
memanggil Tais datang ke rumahnya untuk membicarakan masalah Kepalo Barau,
karena bagi M. Syukur itu adalah salah satu pusaka yang masih tersisa dari ayah
mereka. Menanggapi masalah tersebut, Tais hanya bisa berujar, kalau sekarang ia
tak ada penggantinya.
Sontak saja M. Syukur naik
pitam dan menginginkan ada peperangan di antara mereka. Tais yang juga
terlanjur emosi menerima tantangan yang diberikan. Sebelum M. Syukur sampai di
seberang Tais telah menyiapkan parit untuk aliran darah ke Sungai Batanghari.
Sesampainya M. Syukur dan
dubalang-dubalangnya di seberang parit mereka membuat kesepakatan, kalau
pasukan Tais tidak boleh lari ke hilir dan pasukan M. Syukur tidak juga boleh
lari ke hulu. Terjadi peperangan berkecamuk dengan sangat dahsyat selama
kira-kira 6-7 hari dan dubalang-dubalang Tais berjatuhan mati, sedangkan M.
Syukur menyisakan banyak dubalang yang hidup. Menurut cerita, M.
Syukur mendapat bantuan dari para dewa yaitu Dewa Gunung Kuwaran,
Dewa Bukit Seguntang, Dewa Sialang Belantuk Besi, dan Dewa Durian Dipakok Rajo.
Yang mana daerah-daerah ini menjadi pembatas dengan daerah Padang.
Pertempuran berdarah
tersebut berhasil dimenangkan pasukan M. Syukur. Ia kembali ke Napal
Belang dan mencoba menata kembali perkampungannya dengan memperluas perumahan
hingga ke bagian hilir. Sampai saat ini masih tampak jelas bekas lobang yang
dibuat sebagai patokan bila ada masyarakatnya mau membuat rumah.
Penataan kampung berjalan dengan baik, maka M. Syukur segera memanggil pemuka adat, nenek-mamak, cerdik-pandai untuk mengganti nama Dusun Duo. M. Syukur mengatakan sudah tak mungkin memakai nama Dusun Duo, karena Batu Ampar yang pernah didiami Tais kini telah tak berpenghuni, mereka pindah mengungsi ke bagian hilir. Dan ditemukan sebuah kesepakatan kalau nama Dusun Duo dihapus dan diganti dengan nama Desa Tuo Ilir.
Kesimpulan
Kami menurut perintah dari Allah
Kaji di dalam adat
Kalau ado kato-kato di
dalam piagam kami yang salah
Kami harap minta maaf
1. Dari
Raden Ketek Pendekar Halus, kita bisa belajar kalau tidak boleh menyerah
sebelum peperangan, juga tak usah menghiraukan apa yang dikatakan orang tentang
kita. Maju terus!
2. Raden
Ketek Pendekar Halus seolah juga memberi penegasan kalau kita telah berhasil
atau sukses, maka kita tidak boleh sombong, melainkan tetap selalu rendah diri.
3. Terhitung
ada 5 kali pergantian nama desa kita hingga akhirnya ditetapkan nama Desa Tuo
Ilir. Dari nama-nama itu dimaksudkan untuk menyesuaikan keadaan yang ada pada
saat itu dan dari sini kita bisa belajar kalau nama itu adalah doa. Buatlah nama
yang baik untuk anak-anak kita, karena diharapkan ia bisa bercermin pada nama
tersebut.
4. Cerita
ini juga mengajarkan kepada kita supaya bermusyawarah atau rapat terlebih
dahulu, sebelum memutuskan sesuatu. Tampak dari penggantian nama-nama desa,
hingga permasalahan Kepalo Barau.
5. Nenek
Robiyah mengajarkan kita untuk berani memilih, jika benar sesuatu yang kita
pilih berangkat dari hati dan nyaman untuk kita jalankan, maka kita harus
berani memperjuangkannya. Nenek Robiyah mesti menyelam tombak dari Napal Belang
ke Batu Ampar hingga balik lagi ke Napal Belang, kemudian ia disuruh memasak
ikan yang ada di tombak dan hal yang terbarat adalah ia mesti meninggalkan
abang-abangnya, desanya, bahkan kehidupan dunia.
6. Di dalam
cerita ini terlihat jelas kalau nenek-moyang kita berasal dari Minangkabau,
Sumatera Barat. Ya! bisa benar, bisa juga tidak. Pemikirian bodohku, setidaknya
cerita ini bertujuan supaya antara kita dan masyarakat Minang tidak terpecah
belah dan terwujud sikap saling menyanyangi, maka dibuatlah cerita ini.
Selain itu ada beberapa fakta yang bisa kita lihat
dari cerita ini;
1. Pantun
yang pernah diucapkan Nenek Robiyah sebelum ia menjadi dewa yaitu; Ambil daun
buganti daun/Daun dilipat di atas dampar/Habis tahun buganti tahun/Dusun iko
panjangnyo melampaui Batu Ampar. Pantun ini terbukti pada tahun 2012 ini, Desa
Tuo Ilir kini telah melewati Batu Ampar.
2. Keturunan
Alim Mukmin yang menetap di Teluk Rendah, tak terbantahkan kalau memang
memiliki masyarakat yang alim sesuai namanya, bahkan Desa Teluk Rendah dijuluki
Serambi Mekkah. Sedangkan Palimo Amin yang memiliki keturunan di Desa Tuo Ilir
lebih temperament dan mudah emosi, mungkin juga dari namanya Palimo yang bisa
berarti Panglima.
Demikianlah sedikit
pemaknaan yang bisa saya ambil dari cerita ini. Dan Anda yang membacanya saya
yakin bisa menemukan pelajaran yang lebih banyak lagi dari cerita ini. Semoga
bermanfaat!
Komentar
Posting Komentar